Monday, March 1, 2010

IMIGRAN

Cerpen terakhir yang pernah aku buat


Bulir-bulir salju mulai hinggap diatas pusara yang baru
saja kubuat. Seorang dari para pelayat itu mulai membaca
lafadz do’a dalam bahasa arab yang fasih. Tak ada raut
kesedihan diwajahnya, begitu pula para pelayat yang hanya
berjumlah enam orang itu, wajah mereka yang sejatinya
berwarna kuning kecoklatan khas asia tenggara itu tampak
pucat pasi. Gigi mereka bergemeletukan dengan sesekali
gumpalan uap yang menyerupai asap rokok keluar dari mulut
mereka. Mereka tampak lebih larut menghayati dinginya hujan
salju yang menembus mantel mereka meski bersenti-senti
tebalnya ketimbang mengkhidmati upacara pemakaman itu
sendiri.

Amin...pembaca do’a itu
menutup do’anya sembari mengusap wajah lembabnya.
Amin...diikuti para pelayat, juga
mengusap wajahnya. Kemudian mereka bercakap-cakap sebentar
dengan bahasa yang tak pernah kudengar sebelumnya dan
kedengaranya unik, banyak mengeluarkan fonem huruf
‘A’-nya. Mungkin itu bahasa negara asal mereka.
Nah! Upacara selesai sudah. Hatiku mulai was-was.
Bukanya apa-apa, selama hampir tiga tahun aku bekerja
sebagai penjaga sekaligus penggali kubur dipemakaman khusus
muslim ini tak ada yang lebih menyenangkan hatiku selain
megikut sertai pemakaman orang indonesia.Yah, seperti saat
ini. pokoknya istimewa!
Para pelayat mulai beranjak meninggalkan pusara ini
kecuali satu orang, dia tetap berdiri ditempatnya. Pria ini,
aku hafal benar tabiatnya yang menyimpang dari kebiasaan
disetiap kali dia hadir dalam mengikuti ritual penguburan di
pemakaman ini. Dan tabiatnya itulah yang kuanggap istimewa.
Sebab, dia takkan beranjak sebelum menaburkan uang Mark
diatas pusara dengan jumlah yang tidak sedikit.
Kuangkat sekop kesayanganku, dan melangkah mengikuti
jejak para pelayat tadi. Ketika kami hampir mencapai pintu
gerbang komplek pemakaman, kupalingkan wajahku kebelakang.
Duhaibetapa senang hatiku, pria itu mulai menaburkan
uang diatas pusara yang nantinya akan menjadi bonus tak
terdugaku.
Telah dua kali salju berguguran saling timpa menimpa
dari daun cemara karena tak kuat menahan tumpukan salju yang
membebaninya. Tapi, pria itu belum juga keluar dari
pemakaman. Aku mulai jenuh menunggunya. Kutolehkan lagi
kepalaku kebelakang demi penasaran, bukan nafsu serakahku.
Astaga! Pria itu kini telah rebah sejajar dengan pusara.
Bergegas aku berlari kearahnya dengan rasa cemas berkecamuk
didadaku. Tanpa membawa sekop tentunya.
* * *
Terima kasih, maaf merepotkan anda. Sesak
nafasku memang sering kambuh di musim dingin, ucapnya
dengan nafas yang masih belum teratur. Meskipun begitu tetap
terlihat bahasa Jermanya yang fasih, tentu dia telah lama
tinggal di negeri ini pikirku.
Mungkin tuan sakit asma, aku menimpali
tanpa menoleh padanya. Berlagak sibuk dengan botol-botol
sampanye persediaan musim dingin yang sedang kupilih untuk
ku-suguhkan.
Barangkali iya, tapi menurutku bukan. Sebab
menyerangnya tidak seperti asma laiknya yang diderita
kebanyakan orang. Kilahnya.
Menurut tuan? Bukanya menurut dokter..?
tanyaku tanpa maksud melucu
Aku tak percaya pada dokter, bahkan aku benci
dokter.
Aku tak segera menanggapi ucapanya. Segelas sampanye
ukuran jumbo kusuguhkan padanya dengan harapan bisa
menghangatkan badanya dan hatinya, kalau bisa. Tapi dia tak
segera menerima gelas yang kini masih kugenggam. Tampaknya
ia sedang menimbang-nimbang. Namun akhirnya diraihnya juga
gelas ini dari tanganku.
Sekali lagi terima kasih. ucapnya. Kali
ini aku juga tidak menanggapi. Entah kenapa aku jadi cuekan
orangnya. Tidak seperti dulu, suka berbasa-basi. Apakah aku
kini menjadi kebarat-baratan setelah empat tahun tinggal
dinegara Eropa ini ataukah memang begini efek dari profesiku
sebagai penunggu kuburan? Entahlah.
Tak percaya pada dokter? apakah tuan lebih
percaya pada paranormal, barangkali,
komentarku mengembalikan topik pembicaraan yang tadi sempat
tertunda.
Juga tidak, ucapnya lirih seperti
berguman. Dia diam beberapa saat. Jeda itu dimanfaatkanya
untuk mulai meneguk sampanye yang kusuguhkan. Aku jadi
sedikit berbangga atas pelayananku. Kemudian dia melanjutkan
ucapanya. Sebenarnya memang aku harus percaya dokter.
Andaikata delapan tahun lalu ibuku tidak meninggal diujung
gunting oprasi dan selang-selang oksigen para dokter.
Ia mendesah. Kurasakan juga beban berat didadanya.
Tragis juga, pikirku. Seorang anak kehilangan ibunya dimeja
operasi karena keteledoran dokter, lalu pandanganya terhadap
semua dokter berubah.
Dia diam, dirapatkanya jaket tebal hitamnya kemudian
lututnya dilipat hingga menyatu dengan dada seolah ia
berharap hawa dingin tak akan mampu lagi menembus sampai
kepori kulitnya.
Akupun ikut diam. Tak ingin mengungkit memori masa
silamnya yang kelabu. Kuamati lagi profil pria paruh baya
ini. Wajahnya cukup ganteng, rambutnya hitam pekat dengan
diselingi beberapa helai uban tanda umurnya sudah berkepala
tiga. Tatap matanya tajam, kerut kerut diwajahnya menambah
kewibawaan dan banyaknya pengalaman.
Aku senang, kini nafasnya lebih teratur. Ia menatap
wajah legamku yang sekaligus sebagai identitas ras dan
kebangsaanku; Afrika. Kemudian pandanganya beredar lagi
mengawasi sudut dan sisi cottage ini dan pandanganya
berakhir ketika terbentur pada nyala api di tungku pemanas.
Tak puas hanya melihat, pria itu beringsut dari tempat
pembaringan lalu membuka mantelnya yang tebalnya tidak umum
dipakai oleh penduduk kota Frankfurt ini. sedikit tergesa
dia melangkah menuju perapian tanpa memperdulikan aku sama
sekali. Mungkin dia merasa hawa panas disini tidak cukup
hangat bagi tubuhnya.
Deg! tiba-tiba darahku berdesir tidak teratur. Cemas,
malu, takut, bercampur baur menjadi satu dan melahirkan
perasaan serba salah. Sebab uang-uang yang kupungurt dari
atas pusara tadi sedang kujemur disitu. Segera saja kuraih
sampanye yang baru seteguk diminumnya. Lantas kuekori guna
mengklarifikasi. Klarifikasi? Anggap saja begitu.
Itu uang tuan, mungkin terjatuh ketika asma eh,
sesak nafas tuan kambuh tadi, jelasku dari pertanyaan
yang tak pernah terlontar dari mulut pria ini. Lalu aku
mengambil tempat disisinya, kami sama-sama menghadap api
yang sedang berkobar indah. Kusuguhkan lagi segelas sampanye
ini untuk kedua kalinya.
Seharusnya uang itu tak perlu anda ambil, uang
ini memang sengaja kutabur sebagaimana bunga, ucapnya
datar. seraya menenggak sampanye yang kusuguhkan dengan
nikmat sekali kelihatanya.
Pengganti bunga? tanyaku
takjub. Apakah di negeri tuan memang begitu
kebiasanya?
Tentu saja tidak. Tapi apakah ada bedanya antara
uang dan bunga ketika ia berfungsi sebagi simbol?
ucapnya sambil melirikku. Aku diam saja, lalu dia meneruskan
ucapanya; Bunga hanya tumbuhan biasa bukan? Seperti
tumbuhan lainya. Cuma bentuknya saja yang lebih indah.
Karena keindahanya itulah maka dijadikan oleh manusia
menjadi berbagai simbol. Dari untuk mengungkapkan cinta yang
indah hingga untuk kematian yang mencekam. Bunga selalu
menjadi sasaran dari kebingungan manusia untuk membahasakan
perasaanya kedalam ungkapan perbuatan.
Benar juga, timpalku pelan. Aku mulai
tertarik dengan pria ini. lalu kuambil selembar uang kertas
Mark diantara puluhan uang yang berjejer dihadapan kami.
Tidaklah salah kalau bentuk uang dikatakan indah,
bahkan bisa jadi orang menilai rupanya lebuh indah dari
bunga. Tapi tuan, bukankah makna uang sering berkonotasi
rendah dan hina walaupun nilainya tinggi? Karena uang,
harga diri seseorang bisa jatuh, bahkan hingga harga diri
sebuah bangsa, kataku coba menyadarkan pria ini dalam
mengartikan sebuah simbol.
Dia tersenyum. Senyuman yang sulit kuartikan apa arti
senyumanya itu. Lalu dia berkata; BenarBenar
katamu. Karena itu maka dia pantas mendapatkan perlakuan
seperti demikian itu. Dan seperti katamu tadi, dia telah
menggadaikan harga dirinya, juga harga diri bangsanya. Cuma
demi MarkYang saat ini kau pegang itu, lalu
dia diam sejenak, tampaknya ia mulai terbawa emosinya
sendiri. Dia berucap lagi; Terlalu agung kiranya jika
kuhormati dia meski dengan bunga.
Kalau boleh saya tahu, apa dosa almarhun kenalan
tuan itu? tanyaku mulai bersemangat.
Dimakamkan diantara pepohonan ek dengan diiringi
hujan salju, keren bukan? Itulah cita-cita dan
dosanya.
Hanya itukah? tanyaku kurang yakin atas
jawabanya.
Mungkin, tapi dosa-dosa kecilnya bagiku yang
lebih berat. Dia itu sebenarnya adalah teman dekatku, dulu
kami satu fakultas, bahkan satu jurusan. Dulu, lima tahun
lalu tepatnya. Ketika kami baru saja menamatkan kuliah
dengan gelar Master of Business Administration di salah
satu universitas di Berlin, dia berkata kepadaku;
Agus, aku takkan pulang. Bagiku negeri ini lebih
menjajikanku untuk hidup layak dari pada negeri kita;
Indonesia. Lihatlah Gus, indonesia tidak pernah memberikan
apa-apa bagi kita, apalagi menjanjikan untuk hidup layak.
Katanya lagi, kalaulah negara itu tak pernah melahirkan
diriku, mungkin nama Indonesia sudah lama kuhapus dari
memoriku.
Tapi tuan, saya kira sahabat tuan, maksud saya
almarhum sahabat tuan itu tidak bisa serta merta
disalahkan. Mungkin dia cuma korban dari situasi. Terus
terang, saya sendiri juga seorang imigran, dari Sudan
tepatnya. Meski negeriku terluas didaratan benua Afrika,
bagiku sudah tak memberi harapan banyak. Negeriku selalu
bergejolak seperti halnya negeri tuan. Demikian juga tanah
negeri kami, yang subur sudah dimiliki oang kaya dan sisanya
hanya gurun tandus. Nah, apakah kami harus merampok atau
mencuri sebab, mengemispun belum tentu bisa menjamin kami
untuk hidup walau cuma sehari. Jangan tuan katakan hidup
sejahtera adalah dijamin negara seperti yang tertera di
undang-undang negara. Lalu pekerjaan dan hidup kami
dijamin, apologiku untuk membela sang almarhum. Atau
untuk membela diriku sendiri?
Jangan salah, saudara! Negeriku tidaklah seperti
negeri anda. Tanah negari kami adalah tanah surga, demikian
kata pujangga negeri kami turun temurun karena sangat
suburnya tanah. Hingga tongkat yang kami tanam diatasnya
pun, akan tumbuh menjadi pohon. Negeri kami adalah master
piecenya karya Tuhan diantara semua negeri dimuka bumi ini.
Tapi entah ada kutukan apa, penduduk negeriku tak pernah
merasa makmur tinggal diatasnya sebaliknya lebih suka
memilih tinggal dinegeri orang lain meski disana derajatnya
lebih hina. Sebab disana mereka berprofesi sebagai pembantu
rumah tangga yang diperlakukan sebagai budak, menjadi buruh
atau kuli. ada juga segelintir diantara mereka yang tinggal
dinegeri orang dengan pekerjaan yang lebih terhormat dimata
kita. Seperti profesor diperguruan tinggi, teknokrat yang
jenius, hingga olahragawan yang berbakat yang seharusnya
mngharumkan nama negara. Tapi bagiku mereka itu tidak
terhormat, bahkan sebaliknya, tidak memiliki kehormatan.
Sebab walau bagaimanapun mereka adalah pekerja, pengabdi,
budak! Dan negeriku bukan negeri yang melahirkan
budak.
Ucapanya terhenti untuk menarik nafas. Kelihatanya dia
sesak lagi tapi bukan karena hawa dingin, tapi karena
amarah yang menumpuk tak terlampiaskan. Pandanganya
dialihkan kejendela kaca yang tak tertutup gorden hingga
terlihat diluar sana nisan yang berbaris kaku membeku. Lalu
dia melanjutkan ucapanya; Hingga mereka mati terhina
disana.
Hatiku ikut menggigil demi mendengar kata-katanya.
Terus terang aku tersiggung. Tapi, kuakui pria ini memang
ada benarnya. Sebaliknya emosi chauvinis yang sudah lama
mati selama dan sebanyak para jenazah yang kukubur, kini
merayap lagi dalam dadaku. Tuhan apakah aku mesti
kembali, setelah apa yang kuinginkan yaitu keluar dari
negeriku yang carut marut telah tercapai meski hanya menjadi
seorang panggali kubur? Tuhan, apakah jika aku kembali aku
harus menggarap gurun pasir menjadi lahan pertanian? Tuhan,
kenapa tidak Kau ciptakan tanah negeriku seperti negeri tuan
ini? Aku menghentikan do’aku yang konyol ini. Kalau
kuteruskan maka kalian akan tahu kepengecutanku. Lalu aku
mempertanyakan kembali doaku itu; kalau tanahku subur,
apakah pasti makmur? Sedang tanah yang suburpun panduduknya
malah pergi meninggalkan tanahnya itu sebagaimana penduduk
negeri asal pria ini. Dan tanah yang tanduspun bukan berarti
tidak bisa makmur. Sebab, sepengetahuanku banyak juga negara
maju tapi tanahnya tandus.
Berangkat dari anganku ini aku kembali tertarik untuk
bertanya;
Lalu, bagaimana nasib penduduk di negeri tuan
yang tersisa? tanyaku kubuat sedikit dramatis
Mengenaskan, ujarnya tak kalah dramatis.
Kini mereka bagai domba-domba yang kehilangan
gembalanya. Apa lacur, domba-domba yang kebingungan itu
mengangkat srigala-srigala licik yang bukan dari bangsanya.
Sebab domba itu pikir walaupun bukan bangsanya srigala itu
lahir ditanah yang sama. Dan lebih tragis lagi
srigala-srigala itu mengangkat pemimpin lagi berupa singa
yang juga bukan dari bangsanya juga bukan dari
tanahnya.
Kembali aku tercenung dibuatnya. Aku berusaha memahami
bahasa simbolnya meski pendidikanku tak setinggi pria ini.
Aku jadi bingung, peran yang manakah yang harus kusalahkan
dalam hal ini? Orang asing yang menjajahkah atau para
pemimpin pribumi yang menjajah bangsanya sendiri? Rasanya
menyalahkan pemimpinpun sama dengan menyalahkan diri sendiri
sebab para pemimpin itu rakyat sendiri yang mengangkatnya
sehingga jadi pemimpin. Ah, benar kiranya apa yang dikatakan
pria ini. Yang paling pantas dikambing hitamkan yaitu
kebodohan. Kebodohan siapa saja, yang pantas dan merasa
bodoh atau dibodohi.
Pria ini menatap jendela lagi. Rupanya hujan salju
telah reda. Dan tampak diluar dana pemandangan yang indah.
Ranting -ranting pepohonan apel tua dan pohon ek dengan
latar belakang perbukitan yang putih diliputi salju serta
nisan yang juga bermahkotakan salju begitu terlihat asri dan
mendamaikan hatiku. Kalau begini aku sering membayangkan
seandainya salju turun diatas padang pasir Afrika. Tentu
indah kan? Dan kami akan berebutan menjadi pembuat telapak
kaki pertama diatas salju-salju itu.
Aku segera menyadari, ini juga berarti pembicaraan
kami segera berakhir. Dan sebelum pria ini manyadarinya
seperti jalan pikiranku ini, aku ingin menanyakan satu
pertanyaan pemungkas yang bagiku teramat penting;
Maaf tuan, mungkin ini bersifat privacy.
Ehmm.., aku sedikit berdehem meuntuk menyusun
kalimat. Kalau boleh saya tahu, sebagaimana cerita
tuan tadi, tuan telah menamatkan studi dengan gelar master
sejak lima tahun lampau. Lalu kenapa tuan sekarang masih
berada di Jerman ini? interogasiku dengan intonasi
kubuat sehalus mungkin berharap pria ini tidak tersinggung.
Pria itu tidak segera menjawab sebagaimana
pertanyaan-pertanyaanku sebelumnya yang langsung dijawabnya
dengan menggebu. Ditenggaknya dulu sampanye yang mulai
terasa dingin hingga tandas. Hmm, kalau aku lain.
saat ini aku sedang dalam perjuangan Perjuangan yang
mulia. Aku telah dianugerahi Tuhan seorang gadis Jerman yang
kini menjadi isteriku. Bagiku, dia adalah anugerah terbesar
dalam hidupku, ia harus kujaga dan pula aku tidak mungkin
meninggalkan isteri dan anakku yang kini telah berjumlah dua
orang. ucapnya santai, tanpa beban sedikitpun.
Dengan gaya sedikit tergesa ia melirik arloji yang
melingkar di pergelangan tanganya. Wajahnya berubah seperti
kehilangan sesuatu yang berharga. Aku tak terpengaruh oleh
tindakanya. Sebab aku sudah mencium gelagat ini.
Oya, aku jadi ingat isteriku. Dia pasti gelisah
menungguku. Aku telah telat pulang ke rumah, racaunya.
Lalu dengan cekatan mengenakan mantelnya yang tadi
dilepas. Saya minta diri dulu ya, Sekali lagi saya
ucapkan banyak terima kasih atas semuanya. Kalau ada waktu
untuk berkunjung atau barangkali butuh bantuan saya, hubungi
saya di alamat ini, ujarnya lagi sambil menyodorkan
selembar kartu nama.
Aku tak punya pilihan dan tak punya waktu untuk
memilih. Lantas kuterima saja.
Mungkin aku bisa mengusahakan kerja yang lebih
bagus untuk anda. Permis.. Pamitnya sambil
membalikkan badan. Langkahnya kuiringi dengan tatapan penuh
perasaan benci yang mulai timbul dihatiku.
Perjuangan yang mulia? Huh, bull shit!
makiku dalam hati
Kini aku sendiri lagi. Tak tahu apa yang harus aku
perbuat. Aku mengamati lagi lembaran Deutsche mark yang
berserakan disekelilingku aku jadi tak tega membencinya.
Bukankah dia manusia juga? Oleh karena dia masih dikatakan
manusia, tentu manusiawi kalau dia punya alasan sendiri.
Cerpen Oleh: Marhalim

No comments: